Pada 4 April mendatang, kontraktor pemenang tender sudah akan diumumkan.
Rancangan gedung baru DPR (www.dpr.go.id)
VIVAnews - Meski kritik bertubi-tubi menerpa, pimpinan Dewan Perwakilan Rakyat tetap melanjutkan pembangunan gedung baru. Proses tender sudah dimulai. Sebelas calon kontraktor pun sudah mengambil dokumen prakualifikasi.Kepala Biro Pemeliharaan Pembangunan dan Instalasi DPR, Sumirat, mengatakan para kontraktor itu adalah: PT Hutama Karya, PT Waskita Karya, PT Pembangunan Perumahan, PT Tetra Konstruksindo, PT Nindya Karya, Konsorsium Adhi Karya dan Wijaya Karya, PT Duta Graha Indah, PT Krakatau Engineering, PT Abdi Mulia Berkah, PT Jaya Konstuksi MP, serta PT Tiga Mutiara.
"Tanggal 4 April penetapan hasil kualifikasi," kata Sumirat.
Dia menjelaskan, pembangunan dijadwalkan mulai 22 Juni mendatang. Tapi, panitia merencanakan efisiensi waktu, sehingga jika memungkinkan, pembangunan bisa dimulai sebelum itu. Pendaftaran prakualifikasi telah ditutup Kamis kemarin. Pengumuman pemenang dijadwalkan pada 6 April mendatang.
Sekretariat Jenderal DPR melansir, pembangunan gedung 36 lantai itu bakal menelan dana Rp1,164 triliun. Anggaran itu terdiri dari pembangunan fisik gedung sebesar Rp1,138 triliun dan biaya konsultasi sebesar Rp26,491 miliar. "Semua ini yang menetapkan Kementerian Pekerjaan Umum," kata Sekretaris Jenderal DPR Nining Indra Saleh.
Biaya konsultasi sebesar 26,49 miliar ini terdiri dari biaya perencanaan sebesar Rp9,5 miliar, biaya manajemen konstruksi Rp16 miliar, dan biaya pelaksanaan kegiatan Rp960 juta.
Dengan anggaran sebesar itu, menurut Sumirat, harga pembangunan gedung mencapai Rp7,2 juta per meter persegi. Dengan anggota Dewan berjumlah 560 orang, maka masing-masing akan mendapatkan 111,1 meter persegi. Ruang kerja itu disiapkan untuk menampung satu anggota Dewan, lima tenaga ahli, dan satu asisten pribadi.
"Artinya, harga ruang kerja tiap anggota Dewan sekitar Rp800 juta," kata Sumirat. "Ini hanya bangunan fisik saja, belum termasuk interior dan fasilitas pendukung."
Gedung baru ini akan didirikan di atas areal seluas 157 ribu meter persegi, di belakang Gedung Nusantara I DPR, Senayan. Sedangkan pembiayan pembangunan gedung ini menggunakan sistem kontrak multi tahun dengan anggaran 2011-2013.
Dihujat
Besarnya anggaran pembangunan gedung wakil rakyat sejak lama telah menuai kontroversi. Partai Keadilan Sejahtera (PKS) meminta anggaran pembangunan gedung dievaluasi. Mereka menilai anggarannya tak logis. "Kami akan evaluasi anggarannya, kenapa bisa sebesar itu," kata Ketua Fraksi PKS, Mustafa Kamal di Jakarta, Sabtu lalu.
Mustafa meminta Ketua Badan Urusan Rumah Tangga (BURT) DPR sekaligus Ketua DPR, Marzuki Alie, bersikap terbuka dalam pembangunan gedung baru ini. Marzuki, kata dia, harus menjelaskan anggaran itu secara gamblang kepada masyarakat. "Dia harus tampil di depan menjelaskan kepada rakyat," ujarnya.
Pernyataan PKS ini sebenarnya bertentangan dengan pernyataan Sekretaris Fraksi PKS Abdul Hakim. Sebelumnya, anggota BURT ini mengatakan bahwa Pimpinan DPR dan semua fraksi menyetujui pembangunan gedung baru untuk dilanjutkan pada 2011. "Sampai sekarang FPKS masih memegang kesepakatan dilanjutkannya pembangunan gedung baru DPR," kata Hakim.
Fraksi Partai Amanat Nasional (PAN) malah meminta pembangunan gedung baru DPR tidak ditenderkan terlebih dulu karena masih banyaknya persoalan dalam perencanaan anggarannya.
Sekretaris Fraksi PAN Teguh Juwarno mengatakan, PAN melihat rencana pembangunan gedung masih belum transparan. Selain itu, anggaran Rp1,164 triliun dianggap berlebihan. "Ini menyangkut sensitivitas kondisi perekonomian dan problematika masyarakat," katanya.
Ketua Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) Tjahjo Kumolo menyatakan rencana pembangunan gedung DPR sebaiknya ditunda dulu hingga ada perencanaan yang lebih efisien.
"Pimpinan Fraksi dan Ibu Ketua Umum PDI Perjuangan pernah mengingatkan kepada anggota fraksi PDI Perjuangan, untuk menunda dulu pembangunan gedung DPR, revisi ulang perencanaan pembangunan gedung agar lebih efisien," ujar Tjahjo.
Partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra) berkukuh menolak pembangunan gedung DPR. Gerindra menegaskan, mereka tidak sekedar mencari simpati. "Kami punya bukti atas keseriusan kami," kata Wakil Ketua Fraksi Gerindra Sadar Subagyo sambil menunjukkan dua surat Gerindra kepada pimpinan DPR tentang penolakan itu.
"Surat pertama kami kirimkan pada Oktober 2010, sebelum ada keputusan pembangunan gedung. Surat kedua berupa penegasan kembali, kami kirimkan pada 10 Januari 2011, saat wacana pembangunan gedung kembali mencuat," ujar Sadar.
Partai Persatuan Pembangunan (PPP) menyetujui pembangunan gedung baru DPR, termasuk ruang kerja anggota yang ditaksir Rp800 juta per ruangan. Namun, PPP meminta pembangunan dilakukan sesuai prosedur dan transparan. "Prinsipnya semuanya harus transparan dan merujuk pada aturan main," kata Wakil Sekretaris Jenderal PPP, Arwani Thomafi, Minggu 27 Maret 2011.
Sementara itu sejumlah Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) bahkan menemui pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) beberapa waktu lalu. Mereka meminta KPK menyelidiki indikasi korupsi dalam proses perencanaan pembangunan gedung DPR.
LSM-LSM tersebut adalah Lingkar Madani Indonesia (LIMA), Formappi, Komite Pemilih Indonesia (TePI), Indonesia Budget Center (IBC), Transparency International Indonesia (TII), Sugeng Sarjadi Syndicate (SSS), dan Indonesia Corruption Watch (ICW).
"Kami sarankan KPK sementara menggagalkan proses pembangunan yang memakan biaya triliunan rupiah," kata Direktur Lingkar Madani Indonesia Ray Rangkuti di Gedung KPK, Jakarta.
Ray menilai proses perencanaan pembangunan gedung baru DPR itu tidak transparan dan tidak akuntabel. Setidaknya, menurut dia, ada empat kebohongan dalam prosesnya--mengenai kemiringan gedung, persetujuan seluruh fraksi di DPR, alasan peningkatan kinerja, dan penyediaan berbagai fasilitas.
Selain itu, masih menurutnya, tidak ada akuntabilitas dalam pengadaan jasa konsultasi yang menghabiskan dana belasan miliar, apakah dilakukan melalui tender atau penunjukan langsung.
"KPK harus memberi sinyal bahwa akuntabilitas penggunaan anggaran itu terlalu rendah. Kami minta KPK menyelidikinya," ucap Ray.
Padahal, kata Ray, berdasarkan Keppres 80 tahun 2003, dalam setiap pengadaan barang dan jasa pemerintah, nilai proyek senilai Rp50 juta ke atas harus dilakukan melalui tender terbuka. Begitu juga yang disebutkan dalam Perpres No. 54 Tahun 2010--yang merupakan pengganti Keppres 80/2003--bahwa proyek dengan nilai Rp100 juta harus dilakukan tender secara terbuka.
• VIVAnews
Tidak ada komentar:
Posting Komentar